KOTA AMLAPURA
Dari Ibu Kota Imperium Karangasem Sampai
Ibu Kota Kabupaten Karangasem
1611—2013
Oleh
TIM FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS UDAYANA
Sebuah kota memiliki sejarahnya sendiri sebagai pusat kegiatan pemerintahan (politik), ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Kota dengan kegiatan yang demikian itu, tentu saja mengalami perkembangan yang dibentuk berdasarkan sejarahnya sendiri.
Di dalam dinamika sejarahnya, sebuah kota lahir sebagai akibat dari adanya pergeseran-pergeseran kekuasaan. Di mana penguasa-penguasa membangun pusat-pusat tata politik tradisional. Tempat kegiatan politik tradisional tersebut berpusat pada satu wilayah tertentu yang ditandai dengan keberadaan pusat-pusat istana kerajaan. Kelengkapan istana kerajaan disertai dengan dibangunnya pusat perkembangan perdagangan (pasar) di wilayah pedalaman atau wilayah pesisir pantai (pelabuhan). Istana kerajaan tersebut sebagai sentrum kota kerajaan seringkali mengalami pergeseran atau perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Baik diakibatkan oleh perkembangan konstelasi politik di tingkat internal yang menyebabkan keinginan untuk memisahkan diri, maupun karena serangan kerajaan lainnya. Pengalaman sejarah seperti itu, dapat dilihat dari tumbuh dan berkembangnya berbagai kota yang ada sekarang ini. Misalnya kota Badung yang kemudian menjadi kota Denpasar sebagai pusat kegiatan politik kepemerintahan, ekonomi, dan budaya di Bali Selatan. Kota Semarapura merupakan pusat pemerintahan kerajaan Gelgel yang sebelumnya terletak di sebelah selatan istana yang sekarang (bdk. Ardhana, 2005: 405).
Demikian pula halnya Kota Amlapura, mengalami sejarah perkembangannya sendiri sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Sepanjang sejarahnya, Kota Amlapura yang sekarang ini dikenal sebagai Ibu Kota Kabupaten Karangasem tentu saja juga mengalami dinamika. Tidak saja lokusnya yang bergeser, tetapi nama kotanya juga mengalami perubahan.
Pertama-tama harus dipahami bahwa Kota Amlapura merupakan pusat kegiatan sebuah kerajaan dengan wilayah yang disebut Karangasem. Sebuah wilayah yang menghampar di kaki Gunung Agung nan Mahaagung di bagian timur Pulau Bali. Wilayah ini, menurut sejarah Bali telah dikenal sebagai wilayah yang telah dihuni beratus-ratus tahun yang lampau.
Seperti biasanya, perkembangan suatu wilayah tentu saja tidak terlepas dari dinamika perkembangan. Pada suatu saat ditinggalkan, pada saat lain menjadi tujuan migrasi. Ditinggalkan karena terjadi pertempuran atau bencana alam. Menjadi tujuan migrasi sebagai tempat memuliakan kehidupan, berevolusi, bereproduksi, dan berekspresi.
Layaknya daerah-daerah lain di seluruh Bali, Karangasem juga merupakan suatu daerah yang dipenuhi oleh tempat-tempat suci. Bahkan beberapa tempat suci yang penting bagi umat Hindu di Bali juga berada dalam wawengkon Karangasem. Pura Besakih yang disebut-sebut sebagai the mother temple of Bali, pura yang terbesar di Bali ada dalam wilayah Karangasem. Demikian pula pura penting lainnya, seperti Pura Lempuyang Luhur, Pura Silayukti, Pura Andakasa, dan lain-lainnya.Selain itu, wilayah-wilayah Bali Mula ada di wilayah Karangasem, seperti Tenganan Pagringsingan, Bungaya, Asak, Timbrah, Bugbug, dan lain-lain. Wilayah Karangangasem yang cukup luas itu, dikendalikan dari sebuah kota kerajaan yang sebelumnya juga disebut Karangasem. Kerajaan ini tumbuh dan berkembang menjadi kerajaan besar yang tidak saja berhasil mengendalikan Karangasem, tetapi juga berhasil melakukan invasi ke wilayah Buleleng dan Lombok.
Sejak berdirinya kerajaan Karangasem dan perkembangannya yang sedemikian rupa sepanjang sejarahnya, kota Karangasem yang sekarang ini dikenal sebagai kota Amlapura telah mengalami perubahan-perubahan yang signifikan, kecuali pusat kotanya yang terletak di sekitar puri Karangasem. Jejak pusat kota tersebut masih dapat diidentifikasi meskipun beberapa kali suksesi kekuasaan terjadi, bahkan dari bentuk pemerintahan tradisional ke pemerintahan kolonial1, lalu ke pemerintahan Republik lokus kotanya masih dapat dilihat sampai sekarang ini.
Mahapatih Gajah Mada telah melakukan sumpah yang sekarang ini kita kenal dengan “Sumpah Palapa” untuk menyatukan Nusantara sebagai satu kesatuan utuh dalam sistem pemerintahan Kerajaan Majapahit. Ekspedisi ke daerah-daerah pun kemudian dilakukan untuk menaklukan wilayah, untuk mengorganisasi kerajaan-kerajaan kecil tergabung dalam satu kesatuan besar di bawah otoritas pemerintahan tunggal. Salah satu ekspedisi yang berhasil dilakukan Mahapatih Gajah Mada ialah ke pulau Bali pada tahun 1343 Masehi2.
Sementara itu, program penyatuan wilayah Nusantara sebagai bagian tak terpisahkan dari Kerajaan Majapahit menimbulkan kompleksitas yang rumit. Program tersebut, tidak saja memerlukan kesiapan infrastruktur militer yang tangguh, namun juga memerlukan kesiapan sumberdaya manusia yang cakap sebagai pemimpin wilayah negara jajahan.
Upaya untuk mempersiapkan sumber daya manusia tersebut antara lain dilakukan oleh Mahapatih Gadjah Mada bersama penasihat ulungnya Dang Hyang Kepakisan. Salah seorang putra Dang Hyang Kepakisan dipersiapkan untuk “mencetak” pemimpin-pemimpin yang tangguh. Putra Dang Hyang Kepakisan yang bernama Sira Wang Bang Kepakisan memiliki empat orang putra yang kemudian ditugaskan sebagai Adipati Pasuruan, Adipati Blambangan, Adipati Sumbawa (Perempuan), dan Adipati Bali pada suatu hari di purnama kapat. Sejak saat itu, terdapat pemerintahan otonom di berbagai wilayah Nusantara. Pada dasarnya perubahan sistem pemerintahan ini mengindikasikan Kerajaan Majapahit telah menanggalkan sistem pemerintahan monarchi absolut ke sistem pemerintahan monarchi otonom3.
Pada tahun saka 1247 atau masehi 1352 Dalem Ketut Kepakisan atau Sira Aji Kudawandira atau juga disebut Sri Aji Kresna Kepakisan bertakhta di Bali dan berkedudukan di Samprangan. Beliau disebut benar-benar seperti Narayana keturunan Wisnu, memerintah secara adil dan bijaksana. Mahapatih dan penasihat kerajaan dijabat oleh Arya Kepakisan, keturunan Kediri, Cucu dari Sri Jayasaba, Sri Darma Wangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa adalah leluhurnya. Semula, beliau itu ialah dari kasta Ksatria Wisnu Wangsa, kemudian dijadikan Arya oleh Mahapatih Gajah Mada karena menjabat sebagai patih Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang merupakan keturunan kasta Brahmana. Arya Kepakisan berkedudukan di Nyuh Aya sehingga dikenal pula dengan julukan sebagai I Gusti Nyuh Aya4. Arya Demung Wangbang Kediri atau Arya Wang Bang Pinatih yang semula berkedudukan di Kretalangu sebagai kerajaan koloni Kerajaan Majapahit setelah Raja Ki Pasung Grigih (Ki Pasung Grigis) bersama Mahapatih Kebo Iwa atau Kebo Waruya dikalahkan kemudian diangkat sebagai Demung (sejenis Kepala Kepolisian: minister of police)5.
Setelah terbentuknya Kerajaan Bali yang otonom itu, sejarah kemudian berlanjut. Memahami sejarah yang sudah berlangsung sekian lama tidaklah mudah. Memerlukan kecermatan dan niat yang sungguh-sungguh untuk memahaminya lebih baik dari waktu ke waktu. Mempelajari sejarah merupakan upaya yang tidak pernah padam untuk menggagas masa depan yang lebih baik pada masa datang sebagai sasuluh atau pencerahan suatu perjalanan sebuah kebudayaan. Atau apa yang kita dapat pahami melalui sejarah sesungguhnya merupakan cermin untuk melangkah ke depan dan merepresentasikan apa yang harus dipikirkan pada masa datang6. Sebagaimana dipahami, sejarah suatu bangsa mencerminkan pula struggle yang dialami. Demikian pula setelah terbentuknya Kerajaan Bali yang berpusat di Samprangan kemudian mengalami dinamika.
Babad Dalem7 menyebutkan bahwa Dalem Ketut Kepakisan atau Sira Aji Kudawandira atau Sri Asmara Aji Kepakisan atau Sri Aji Kresna Kepakisan memiliki empat orang putra dari dua permaisuri yaitu:
A. Tiga orang beribu Ni Gusti Ayu Tirtha (putri dari Sri Arya Gajahpara):
1. Ida I Dewa Samprangan yang gemar bersolek;
2. Ida I Dewa Taruk, tidak tertarik menjadi raja. Beliau seorang hartawan dan ingin melaksanakan darma kepanditaan (menjadi seorang pendeta);
3. Ida I Dewa Ketut suka berjudi keliling desa.
B. Seorang lagi putranya bernama:
Ida I Dewa Tegal Besung yang lahir dari Ni Gusti Ayu Kutawaringin saudara Kyai Abian Tubuh. Putra ini jauh lebih muda dari saudara yang lain.
Pada saat Dalem Ketut Kepakisan atau Sira Aji Kudawandira atau Sri Asmara Aji Kepakisan atau Sri Aji Kresna Kepakisan wafat pada tahun saka 1302 atau tahun masehi 1380.
4 Ibid.
5 Berdasarkan keterangan dari teks Nagarakretagama dan Pararaton, Berg mendeskripsikan kekalahan Ki Pasung Gigis dengan cara berbeda, beliau menyatakan bahwa pada saat diperintahkan untuk menaklukkan Sumbawa mengalami kematian (Berg, Cornelis Christian. 1927. De Middlejavaanche Historiche Traditie. Sanpoort: Mees. Hal. 103). Sementara itu, pada saat mengelaborasi teks Usana Jawa dinyatakan bahwa Arya Damar berhasil membunuh raja Pasunggiri di Bali Utara. Jadi, yang wafat dan dikalahkan itu sesungguhnya nama yang sama (ibid. Hal. 112).
6 Dikutip dari Tonkin, Elisabeth. 1992. Narrating Our Past: The Social Construction of Oral History. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 1.
7 Periksa Warna, I Wayan dkk. (ed.). 1986. Babad Dalem: Teks dan Terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Tiga tahun kemudian kedudukannya digantikan oleh Ida I Dewa Ketut pada tahun saka 1305 atau 1383 yang bergelar Dalem Ketut Smara Kepakisan. Seharusnya Ida I Dewa Samprangan yang berhak duduk sebagai raja di Samprangan, namun kegemarannya bersolek menyebabkan paruman para patih seringkali batal. Keadaan ini menyebabkan para patih menganggap beliau tidak cakap menyandang kedudukan sebagai Maharaja. Sedangkan Ida I Dewa Tegal Besung sebagai putra mahkota ke II masih muda belia sehingga tidak memungkinkan untuk diangkat sebagai raja. Akhirnya atas kesepakatan para patih, Ida I Dewa ketut didaulat untuk menjadi raja dengan didampingi oleh Mahapatih Nyuh Aya yang kemudian membangun istana di utara pasar.
Ida I Dewa Ketut yang kemudian bergelar Sri Smara Aji Kepakisan digambarkan sebagai raja yang berwajah tampan dan menjalankan “sad guna“8 menyerupai Sang Hyang Mahadewa. Beliau juga digambarkan memiliki tanda “cawiri” (tatto berbentuk kepala kala) di pahanya sebagai tanda pemberani dalam pertempuran. Setelah menjadi raja Sri Smara Aji Kepakisan mendiami rumah Kriyan Klapodyana di Gelgel yang kemudian disebut sebagai “Sweca Linggarsa Pura”.
Setelah Sri Smara Kapakisan lama bertahta kemudian beliau wafat pada tahun saka 1382 atau tahun masehi 1460. Dua tahun sebelum wafat, beliau digantikan oleh putra mahkota Sri Waturenggong yang telah lama menduduki jabatan sebagai raja muda pada tahun saka 1380 atau tahun masehi 1458. Sejak tahun masehi 1460 Sri Waturenggong langsung memegang tampuk pemerintahan dan kekuasaan penuh di pulau Bali. Kerajaan pun tetap aman sentausa seperti sediakala selama beliau memerintah. Sri Waturenggong didampingi oleh patih yang lebih muda, keturunan patih-patih sebelumnya, yaitu:
1. Ki Gusti Arya Batan Jeruk putra dari Rakriyan Patandakan sebagai Mahapatih;
2. Ki Gusti Abian Tubuh; dan
3. Ki Gusti Pinatih.
Sri Waturenggong yang secara resmi memerintah sebagai raja pada tahun masehi 1458, akhirnya wafat pada tahun saka 1472 atau tahun masehi 1550. Ditandai dengan candra sangkala “sapangrenga sang pandita muang catur janma”. Kemudian disebut sebagai dewateng enggong. Saat beliau wafat inilah terjadi dinamika di Kerajaan Gelgel. Pada waktu wafat, baginda meninggalkan dua orang putra, yaitu:
1. Ida I Dewa Pamayun; dan
2. Ida I Dewa Dimade atau Ida I Dewa Anom Sagening.
Keduanya diasuh oleh kelima orang pamannya, putra dari Ida I Dewa Tegal Besung, yaitu:
1. Ida I Dewa Gedong Arta;
2. Ida I Dewa Anggungan;
3. I Dewa Nusa;
4. I Dewa Bangli; dan
5. I Dewa Pagedangan.
Pada awalnya, Ida I Dewa Pamayun didaulat menggantikan kedudukan raja yang telah wafat walaupun masih kanak-kanak didampingi oleh semua para mentri seluruhnya dan Patih Agung tetap dijabat olah Kriyan Batan Jeruk. Babad Dalem melukiskan bahwa pada saat itu,
8 Sad Guna ialah enam tindakan atau upaya yang dipraktekkan oleh raja dalam peperangan. Terdiri dari sandhi atau “damai”, wigraha atau “perang”, yāna atau “berbaris”, āsana atau “duduk berkemah”, dwadidhī-bhāwa atau “membagi tentara”, samśraya atau “mencari perlindungan (dari raja yang lebih kuat)”. Jadi yang dimaksud ialah bahwa Ida I Dewa Ketut meskipun suka berjudi, namun menguasai ajaran tentang peperangan yang benar. Lihat Zoetmulder, P.J. 2004. Kamus Jawa Kuna—Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kriyan Batan Jeruk memangku Ida I Dewa Pamayun di sebelah kanan dan Ida I Dewa Anom Sagening di sebelah kiri saat pertemuan para menteri. Kemudian didudukkan di samping, kemudian di belakang singgasana. Dang Hyang Astapaka memperingati Kriyan Batan Jeruk agar tidak bekelakuan seperti itu, seolah-olah menduduki jabatan raja.
Kesalahpahaman ini kemudian berlanjut, Kriyan Batan Jeruk merasa benar sehingga pada tahun saka 1478 atau tahun masehi 1556 menyerang istana bersama I Dewa Anggungan yang berkeinan menduduki jabatan raja. Tidak diceritakan betapa hebatnya pertempuran itu, akhirnya Kriyan Batan Jeruk menderita kekalahan dan pergi ke arah timur tiba di Desa Jungutan Bungaya. Beliau dirusak (dibunuh) oleh pasukan Kriyan Dhawuh Nginte. Pada saat itu Kriyan Batan Jeruk mengenakan kain sudamala, berselimut lumut, di telinganya tersunting bunga pucuk lamba. Sementara itu, sanak keluarga Kriyan Batan Jeruk diselamatkan di Watuaya Karangamla.
Pada tahun saka 1482 atau tahun masehi 1560, Ida I Dewa Pamayun yang kemudian bergelar Sri Aji Pemayun Bekung resmi menduduki tahta Kerajaan Gelgel dibantu oleh saudaranya Ida I Dewa Anom Sagening karena beliau kurang cerdas. Perlu waktu empat tahun agar kerajaan stabil kembali seperti sedia kala setelah wafatnya Kriyan Batan Jeruk. Peristiwa “pemberontakan” itulah merupakan titik awal cikal bakal dinasti Kriyan Batan Jeruk memerintah di Kerajaan Karangasem.
3. Wilayah Karangasem
Sebelum menelusuri kapan tepatnya Kota Amlapura dibangun, ada baiknya dipahami lanskap wilayah Karangasem. Tentu saja wilayah Karangasem berhubungan erat dengan wilayah yang sekarang ini diterima sebagai wilayah Kabupaten Karangasem. Di mana sesungguhnya wilayah Karangasem yang sekarang ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan wilayah kerajaan Karangasem pada awalnya. Pada jaman kerajaan Karangasem sampai tahun 1908 wilayahnya mencakup 21 Punggawa, yaitu Karangasem, Seraya, Bugbug, Ababi, Abang, Culik, Kubu, Tianyar, Pesedahan, Manggis, Antiga, Ulakan, Bebandem, Sibetan, Pesangkan, Selat, Muncan, Rendang, Besakih, Sidemen, dan Talibeng.
Cikal bakal keberadaan Karangasem sebagai suatu entitas wilayah diawali dengan disebutnya daerah yang disebut sebagai Adri Karang oleh “Prasasti Sading C” (Goris, 1954)9. Pada prasasti ini disebutkan dengan jelas bahwa di sebelah timur puau Bali berdiri dengan tegak sebuah gunung yang tinggi menjulang menggapai angkasa yang disebut Adri Karang yang juga dapat diartikan sebagai ‘Gunung Karang’. Pada penanggal ke-12 bulan paro terang, wuku Julungwangi, tahun saka 1072 atau tahun masehi 1150, Ida Bhatara Guru menitahkan putranya Sri Maharaja Jayasakti atau yang kemudian dikenal sebagai Hyang Agnijaya untuk turun ke Bali membangun kemakmuran di sana. Prasasti Sading C menyebutkan bahwa kehadiran Hyang Agnijaya ke Bali sebagai “gumawyeana Dharma rikang Adri Karang maka karahayuaning jagat bangsul…”. Frasa ini ada yang mengartikan sebagai membangun tempat suci untuk tujuan memberi keselamatan bagi seluruh jagat Bali. Berdasarkan komposisi frasa tersebut sebenarnya mengacu pada menciptakan religiusitas (agama: dharma) di wilayah yang disebut “Adri Karang” atau “Gunung Karang sebagai wujud kesejahteraan jagat Bali (Bangsul). Dari “Gunung Karang” itulah Hyang Agnijaya dititahkan oleh Ida Bhataa Guru untuk menebarkan ajaran dharma agar seluruh jagat Bali ini sejahtera.
9 Goris, Roelof. 1954. Prasati Bali: inscripties voor Anak Wungcu ; I: Inleiding. Transcripties. Inscripties in het Sanskrit. - II: Vertalingen. Registers. Bandung: Masa Baru.
.Di “Gunung Karang” itu, selanjutnya berdiri sebuah pura yang sekarang ini lazim disebut Pura Lempuyang Luhur. Disanalah konon berstana Hyang Agnijaya yang disebut-sebut wilayahnya dalam “Prasasti Sading C”. Menurut hasil penelitian Institut Hindu Dharma (sekarang Universitas Hindu Indonesia) tentang “Sejarah Pura-Pura” di Bali, nama “Lempuyang” berkaitan dengan tempat itu sebagai “tempat yang terpilih”. Atau dengan kata lain “Gunung Karang” itu adalah tempat yang dipilih oleh Ida Bhatara Guru (Hyang Paramaiswara) sebagai titik awal untuk menyebarkan agama Hindu di Bali bagi kesejahteraan umat manusia di bumi ini. Makna ini berdasarkan arti kata “lampu” yang berarti ‘terpilih; disukai’ dan “Hyang” berarti ‘Tuhan’. Secara historis, penyebutan kata “Lampu Hyang” kemudian bergeser pelafalannya menjadi ‘Lempuyang’10.
Nama Karangasem sebagai suatu kesatuan entitas wilayah juga mendapat sebutan lain di dalam teks-teks kesusastraan Bali. Teks Negarakretagama yang merupakan teks historiografi tradisional utama yang ditemukan di Karangasem, menyebut wilayah Karangasem sebagai “Kamalasana” yang dapat diartikan sebagai ‘teratai’ atau mengacu pada sejenis pohon ‘asoka’. Penyebutan nama ini berkaitan dengan sejarah kekuasaan Ki Dauh Bale Agung yang disebut-sebut berkuasa di Amlanagantun (Muljana, 1979)11.
Selain itu keberadaan wilayah Karangasem ini juga berkaitan dengan spektrum kekuasaan kerajaan Gelgel pada masa lalu. Babad Gelgel menyebutkan bahwa wilayah “Adri Karang” merupakan wilayah kerajaan Gelgel, lengkap dengan desa-desa disekitarnya seperti Kedampal, Datah, Kubu, Tyanyar, dan lain-lain. Raja yang memerintah sebagai raja bawahan pada saat itu bergelar I Dewa Karang Amla.
Berikut ini disajikan peta wilayah Karangasem pada masa lalu.
Dikutip dari: Putra Agung, 2001: 190
10 Laporan Penelitian Sejarah Pura-Pura, Pelaksanaan Proyek Institut Hindu Dharma Denpasar. Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tk. I Bali No. 11/C/ib/79 tanggal 11 Januari 1979. Denpasar: Institut Hindu Dharma.
11 Muljana, Slamet. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Teks Nagarakretagama atau Desa Warnana tertua yang ditemukan di Griya Pidada Karangasem ini juga telah diterbitkan oleh Brandes pada tahun 1902 dibawah judul “Nagarakretagama : lofdicht van Prapanjtja op Koning Rasadjanagara [i.e. Radjasnagara?], Hajam Wuruk, van Madjapahit”. Landsdrukkerij, 1902. Brandes menerbitkan teks ini berdasarkan naskah yang ditemukan di Lombok pada waktu ekspedisi militer. Pada saat itu, menurus Brandes naskah Nagarakretagama merupakan codex unicus atau satu-satunya naskah saksi. Namun, pada tahun 1978, naskah tertua ditemukan di Griya Pidada Karangasem.
4. Terbentuknya Kerajaan Karangasem dan Kota Karangasem
Ida Anglurah Batan Jeruk, demikian Babad Karangasem menyebut beliau yang dewata (wafat) di Desa Jungutan (sekarang: Desa Bungaya) setelah dikepung oleh pasukan Gelgel demi mempertahankan sebuah prinsip otoritas kepemerintahan. Atau beliau juga disebut Kriyan Patih Agung I Gusti Agung Arya Batan Jeruk seperti dinyatahan di dalam Babad Dalem yang wafat pada candra sengkala “brahmana nyaritawang ana wani“ yang berarti tahun saka 1478 atau 1556 masehi12. Mengenai wafatnya Ida Anglurah Batan Jeruk ini, teks “Lalintihan Babad Karangasem”, druwen I Gusti Agung Jelantik (almarhum) dari Puri Agung Jelantik Kelodan Pesagi Karangasem menyebutkan bahwa beliau wafat pada tahun saka 1508 atau tahun masehi 1586 masehi (“rusak duk wangun Isaka 1508, Brahmanda ring ta wang kawasa inguni”)13. Namun, sumber-sumber lain lebih banyak yang menyebutkan wafatnya I Gusti Agung Arya Batan Jeruk wafat pada tahun 1556 masehi atau pada tahun saka 1478. Hal yang sama yang disampaikan pada babad dan lalintihan tersebut ialah bahwa I Gusti Agung Jelantik Dewata ring Bungaya wafat karena di rusak (dibunuh) oleh penguasa Raja Gelgel pada waktu itu (brahmanda ring ta wang kawasa inguni).
Ida Anglurah Batan Jeruk, yang sebelumnya merupakan mahapatih Kerajaan Gelgel yang wafat di desa Bungaya itulah merupakan sebab dari segala penyebab terbentuknya Kerajaan Karangasem di bawah dinasti Arya Batan Jeruk. Imperium kerajaan ini selanjutnya bertahan sampai sistem pemerintahan kemudian berubah. Baik saat di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda maupun menjelang bergantinya sistem pemerintahan Republik.
Sebelum Kerajaan Karangasem di bawah dinasti Arya Batan Jeruk berkuasa, pasca Arya Dauh dan selanjutnya di bawah kekuasaan Kerajaan Gelgel, Karangasem merupakan raja vasal yang dipimpin oleh Ida I Dewa Karang Amla. Penyebutan wilayah Karangasem sebagai satu kesatuan entitas wilayahpun sebelumnya berubah-ubah yang ditemukan dari berbagai teks, dari Karang Adri, Kamalasana, Amlanagantun, dan Karang Amla.
Pada saat, I Gusti Agung Arya Batan Jeruk wafat di wilayah Kerajaan di bawah kekuasaan Ida I Dewa Karang Amla, beliau meninggalkan seorang putra angkat bergelar I Gusti Agung Pangeran Oka dan seorang istri cantik jelita. I Gusti Agung Pangeran Oka bersama permaisuri I Gusti Agung Arya Batan Jeruk kemudian tinggal di Desa Budakeling, di pasraman Danghyang Astapaka.
Danghyang Astapaka yang juga memiliki pasraman pula di Bukit Mangun, Desa Toya Anyar (Sekarang: Desa Tyanyar). I Gusti Agung Pangeran Oka begitu tekun mengikuti kegiatan spiritual sehari-hari yang dilaksanakan Dang Hyang Astapaka. Sekali waktu bahkan ikut melakukan kegiiatan spiritual di Asrama Bukit Mangun. Sementara itu, janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk sering kali pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Pada suatu hari, saat hari pasaran tiba, janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk seperti biasanya pergi ke pasar. Pada hari yang bersamaan, Ida I Dewa Karang Amla juga bermaksud melihat-lihat suasana hari pasaran. Di suatu persimpangan jalan, keduanya bertemu. Ida I Dewa Karang Amla terkesima dengan kecantikan janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk sehingga serta merta lalu jatuh cinta.
12 Lihat Warna, I Wayan (at al). 1986. Babad Dalem: Teks dan Terjemahan (A-B: Periode Samprangan s/d Gelgel. - Babad C: periode Klungkung). Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tk. I Bali. hal. 85.
13 Lihat Lalintihan Babad Karangasem, milik Almarhum I Gusti Agung Jelantik, Puri Agung Jelantik Kelodan Pesagi Karangasem.
Tidak lama setelah pertemuan itu, Ida I Dewa Karang Amla kemudian melamar janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk untuk diperistri. Lamaran tersebut kemudian diterima asalkan mau memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Ida I Dewa Karang Amla tidak bergeming, apapun persyaratan yang diajukan oleh janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk akan disetujuinya. Demikian pula pada saat diajukan syarat agar I Gusti Agung Pangeran Oka menjadi pewaris Kerajaan Karangasem, persyaratan itupun disetujuinya.
Hal hasil perkawinan antara Ida I Dewa Karang Amla dengan janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk akhirnya terjadi. I Gusti Agung Pangeran Oka, juga akhirnya ikut di boyong ke Desa Balepunduk (Desa Selagumi) tempat Ida Anglurah Karang Amla mengedalikan pemerintahan kerajaan Karangasem pada waktu itu.
Setelah tiba waktunya, akhirnya I Gusti Agung Pangeran Oka akan ditetapkan sebagai raja menggantikan Ida I Dewa Karang Amla. Namun, karena lebih suka melaksanakan kegiatan spiritual bersama Dang Hyang Astapaka penetapan sebagai raja itupun ditolaknya. Kekuasaan kerajaan akhirnya diserahkan kepada putra atau cucunya. Adapun I Gusti Agung Pangeran Oka kemudian mengikuti kata hatinya mengikuti Dang Hyang Astapaka menjalani kehidupan suci di Bukit Mangun, Desa Toya Anyar. Pada waktu dilimpahkannya kekuasaan kepada I Gusti Agung Pangeran Oka, Kerajaan Karangasem di bawah dinasti sebenarnya sudah terbentuk terjadi. Namun tentatifitas waktu kapan pemindahan kekuasaan itu terjadi tidak diketahui secara pasti. Perlu mendapat perhatian di sini ialah janji Ida I Dewa Karang Amla untuk mewariskan tahta kerajaan kepada I Gusti Pangeran Oka bila ingin mempersunting janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk.
4.1 Kerajaan Karangasem Hingga Kabupaten Karangasem
Beberapa sumber, menyebutkan bahwa I Gusti Pangeran Oka memiliki 3 orang istri yang melahirkan beberapa putra-putri. Putra Agung (2001) melampirkan Silsilah Raja-Raja yang memerintah di Kerajaan Karangasem dengan mengutip silsilah yang sama dari buku A.A. Ktut Agung (1991) sebagai berikut:
Dikutip dari: Putra Agung, 2001: 299
Berbeda dengan bagan silsilah yang disampaikan oleh Anak Agung Gde Putra Agung dan Anak Agung Ketut Agung di atas, Lalintihan Babad Karangasem menyebutkan bahwa I Gusti Pangeran Oka memiliki dua belas orang putra-putri sebagai berikut:
1) I Gusti Wayan Truna.
2) I Gusti Nengah Begbeg, menurunkan kerturunan di Batan Neha (anganaken Batan Neha mangke).
3) Istri Wayan Bantas, dikawinkan ke Desa Padangkerta (tiba maring Padangkerta).
4) I Gusti Nyoman Karang dilantik sebagai raja (abiseka Ida Anglurah I Gusti Nyoman Karangasem) pada hari Buda Wage Merakih Isaka 1533 (Hari Rabu, Wuku Merakih tahun saka 1533).
5) I Gusti Ketut Landung, kemudian menurunkan keturunan bernama di Bungaya bernama I Gusti Genjing (anganaken Bungaya I Gusti Genjing),
6) I Gusti Marga Wayahan.
7) I Gusti Marga Nyoman.
Kemudian juga memiliki putra dengan istri dari Desa Poladung, yaitu:
8) I Gusti Marga Tasik
9) I Gusti Tambir
10) I Gusti Sangeh
11) I Gusti Dane Wirya yang kemudian ringgal di Desa Tegalinggah (mara maring Tegalinggah).
12) I Gusti Nengah Subagan.
Ada poin penting yang disampaikan melalui lalintihan tersebut di atas, yaitu bahwa I Gusti Pangeran Oka tidak pernah disebut sebagai “anglurah”, yang menurut Ketut Agung (1991) dan Putra Agung (2001) merupakan gelar sebagai pertanda menduduki tahta (raja). Kedua, putra I Gusti Pangeran Oka bernama I Gusti Nyoman Karang disebut sebagai melakukan upacara “abiseka” pada Buda Wage Merakih Isaka 1533 atau pada hari Rabu Wage Merakih Tahun 1611 atau tepatnya pada hari Rabu, 22 Juni 1611.
Berdasarkan paparan data di atas, tampaknya perlu diinterpretasi beberapa hal terkait sebagai berikut.
1) Waktu wafatnya I Gusti Agung Arya Batan Jeruk, Dewata di Jungutan (Desa Bungaya);
2) Waktu Berdirinya Kerajaan Karangasem;
3) Raja Karangasem pertama dari dinasti Arya Batan Jeruk.
Ketiganya terkait untuk menentukan rasionalitas tentatifitas waktu ketiganya agar tampak berkesinambungan.
Bila diikuti Babad Karangasem, Babad Dalem, dan Lalintihan Babad Karangasem mengenai waktu wafatnya I Gusti Agung Arya Batan Jeruk, maka ditemukan dua tentatifitas waktu yang berbeda, yaitu tahun saka 1478 atau 1556 masehi dan tahun saka 1508 atau 1586 masehi. Kedua data ini masing-masing harus ditambahkan 55 tahun dan 25 tahun untuk mencapai angka 1611 (waktu diangkatnya Anglurah I Gusti Nyoman Karang sebagai raja). Pada sisi lainnya, pada saat wafatnya I Gusti Agung Arya Batan Jeruk, I Gusti Pangeran Oka diperkirakan telah berusia 10 tahun. Perkiraan ini tampaknya rasional dari sudut pandang “etika perang” yang tidak memperbolehkan wanita dan anak-anak dibunuh dalam peperangan. Oleh karena itu, I Gusti Pangeran Oka tidak dibunuh (brahmanda) oleh pasukan Kerajaan Gelgel (wang kawasa inguni) karena dianggap masih anak-anak.
Bilangan tahun yang ditemukan, bila penjumlahan angka tahun wafatnya I Gusti Agung Arya Batan Jeruk menurut Babad Dalem, Babad Karangasem, dan Lalintihan Babad Karangasem dengan usianya saat itu (10 tahun) maka pada tahun 1611 akan ditemukan angka tahun 65 tahun dan 35 tahun. Dari kedua angka ini, tampaknya wafatnya I Gusti Agung Arya Batan Jeruk wafat (dewata) pada tahun saka 1478 atau tahun masehi 1556. Sedangkan bila benar pada tahun 1611 Ida I Dewa Karang Amla beserta seluruh keluarga telah hijrah ke Desa Batuaya dan Ida Anglurah I Gusti Nyoman Karangasem berkedudukan di sebuah Keraton di dekat Keraton Batuaya (Sekarang: Puri Kelodan).
Baik Ketut Agung (1991) dan Putra Agung (2001) tidak menyebutkan Ida Anglurah I Gusti Nyoman Karangasem sebagai raja Karangasem, memutuskan untuk menyebut putranya Ida Anglurah I Gusti Anglurah Ketut Karangasem sebagai raja pertama. Namun keduanya sepakat, bahwa pada tahun 1611 dinasti Arya Batan Jeruk sudah tinggal di Puri Kelodan (sebelah utara Keraton Batuaya).
Mengikuti Lalintihan Babad Karangasemi serta memperhatikan teks Babad Dalem dan Babad Karangasem, perlulah direkonstruksi keberadaan Kerajaan Karangasem sebagai berikut.
1) Sesuai janji Ida I Dewa Karang Amla kepada janda I Gusti Agung Arya Batan Jeruk akan mewariskan tahta kerajaan kepada putra I Gusti Agung Arya Batan Jeruk, maka pendiri Dinasti Arya Batan Jeruk Kerajaan Karangasem seharusnya ialah I Gusti Pangeran Oka.
2) Raja pertama yang memerintah Kerajaan Karangasem ialah Ida Anglurah Nyoman Karangasem yang terjadi pada saat I Gusti Pangeran Oka berusia kurang lebih 65 tahun, usia yang matang untuk melakukan kegiatan dwijati sesuai kehendak hati nurani. I Gusti Pangeran Oka dalam teks Lalintihan Karangasem, Babad Dalem, dan Babad Karangasem memang disebutkan melakukan kehidupan suci bersama dang Hyang Astapaka di Bukit Mangun, Desa Toya Anyar.
3) Abiseka14 Ida Anglurah I Gusti Nyoman Karangasem dilaksanakan pada hari Rabu, 2 Juni 1611 bertepatan dengan Purnama Kasa, Buda Wage Merakih Isaka 1533 atau “duk Purnama Kasa, Buda Wage Merakih Isaka 1533” menurut Lalintihan Babad Karangasem. Akurasi dari penyebutan waktu abiseka tersebut mungkin sulit dipertanggungjawabkan karena hanya disebut oleh teks yang ditulis jauh dikemudian hari tanpa data pembanding. Namun demikian, logika budaya agaknya membenakan hal ini karena berkaitan dengan paham dalam surya-candra pramana bahwa pada saat rah (puluhan) dan tenggek (satuan) tahun saka terjadi kembar, maka pada saat itu baik untuk membangun tempat suci (pura), istana, dan rumah baru. Demikian pula upacara ngenteg linggih (upacara perresmian bangunan suci aga dapat dipakai untuk selanjutnya) dan upacara abiseka dan atau pediksaan juga baik dilakukan pada saat itu.
Dengan demikian, keberadaan Kerajaan Karangasem di bawah dinasti Arya Batan Jeruk telah dibangun oleh I Gusti Pangeran Oka dan diresmikan pada tanggal 22 Juni 1611. Bersamaan dengan abiseka Ida Anglurah I Gusti Nyoman Karangasem. Berdasarkan ini pula dapat diketahu Kota Karangasem didirikan pada waktu yang sama ditandai dengan lokus imperium Karangasem yang baru di Puri Kelodan Karangasem.
14 abiseka dalam tradisi kepemimpinan Bali merupakan prosesi peresmian seseorang (berdasarkan geneaogi) menjadi raja secara resmi. Lihat Zoetmulder, P.J. 2004. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT. Geamedia Pustaka Utama.
Setelah Kerajaan Karangasem terbentuk, maka sepanjang sejarahnya terjadi pasang surut sesuai perkembangannya. Sesuai data sejarah yang tersedia, Kerajaan Karangasem telah melakukan perluasan-perluasan wilayah kerajaan di wilayah Bali, bahkan sampai ke Lombok. Di Bali, Kerajaan Karangasem melakukan invasi ke Buleleng dan Jembrana. Di Lombok, Kerajaan Karangasem eksis sampai akhir abad ke-1915. Sebelum itu, setelah berakhirnya Puputan Jagaraga di Buleleng pada tahun 1849, kekuasaan Kerajaan Karangasem di Buleleng dan Jembrana berakhir16.
Setelah dua peristiwa perang yang melanda Kerajaan Karangasem, maka wilayah yang dikuasai semakin menusut pula. Raja Karangasem Ida Anak Agung Gde Djelantik, pada tahun 1908 tercatat hanya membawahi 21 Punggawa, yaitu Karangasem, Seraya, Bugbug, Ababi, Abang, Culik, Kubu, Tianyar, Pesedahan, Manggis, Antiga, Ulakan, Bebandem, Sibetan, Pesangkan, Selat, Muncan, Rendang, Besakih, Sidemen, dan Talibeng.
Pasca dikalahkannya Kerajaan Karangasem di Buleleng dan Lombok oleh tentara Kerajaan Belanda, Kerajaan Karangasem dihapuskan. Secara legalitas formal Kerajaan Karangasem merupakan Gouverments Landschap Karangasem di bawah otoritas Pemerinahan Hindia Belanda. Pada tahun 1896, Raja I Gusti Gde Jelantik diangkat sebagai stedehouder (wakil pemerintah Belanda) oleh Gubernur Djendral Hindia Belanda. Walaupun Kerajaan Karangasem talah berubah status sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Belanda di Hindia Belanda, stadehouder I Gusti Gde Jelantik tetap melaksanakan pemerintahan dengan sistem pemerinahan tradisional (Putra Agung, 2001: 179).
Setelah berakhirnya pemerintahan I Gusti Gde Jelantik, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mengangkat I Gusti Bagus Jelantik sebagai stedehouder pada tahun 1908. Namun keputusan itu ditentang oleh I Gusti Ketut Jelantik (Gesah) dan I Gusti Putu Jelantik. Kedua calon stedehouder pengganti I Gusti Gede Jelantik ini kemudian berencana membuat kekacauan di wilayah Karangasem, begitu tersiar kabar yang beredar di masyakat. Namun, sebelum sempat kekacauan benar-benar terjadi, Residen Bali dan Lombok ada waktu itu memerintahkan mengirim dua kapal perang ke Karangasem, yaitu kapal perang “Koningen Regenters“ dan “Koningen Wilhelmina” yang dipenuhi sejumlah pasukan. Selain itu, dua buah kapal kecil yang disebut “Mataram” dan “Nias” juga menyertai dengan pasukan dan perlengkapan yang cukup. Keempat kapal tersebut mendarat di Ujung pada tanggal 11 September 1908. Pemerintah Hindia Belanda yang dianggap mempunyai niat tertentu di balik pengangkatan I Gusti Bagus Jelantik sebagai stedehouder bersikukuh prosedur pengangkatan itu sudah benar17.
Secara resmi, I Gusti Bagus Jelantik akhirnya diangkat menjadi stedehouder berdasarkan besluit No. 22, tanggal 28 Desember 1908. I Gusti Bagus Jelantik, sejak tahun 1909 didampingi
15 Mengenai sejarah Karangasem dan eksistensi dinasti Kerajaan Karangasem di Lombok, lihat Ketut Agung, Anak Agung, 1991. Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang DI Selat Lombok: Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem 1661—1950. Denpasar: Upada Sastra. Lebih lanjut mengenai runtuhnya dominasi dinasti Kerajaan Karangasem di Lombok lihat Kraan, Alvons van der. 1977. “The fall of the house of Karangasem“ dalam Kabar Seberang: Sulating Maphilindo, ISSN 0314-5786 (1977), issue 1 (Jan.), page 44-58. Pada artikel ini, Kraan mencoba merekonstuksi isu wacana pertentangan Kerajaan Karangasem di Lombok dengan suku Sasak pada tahun 1887 sampai terjadinya invasi militer Belanda dibawah komando Governor-General Van der Wijck pada tahun 1891. Setelah itu Kerajaan Karangasem di Lombok runtuh dan kemudian dikendalikan langsung di bawah pemerintahan Belanda.
16 Baca “Riwayat singkat perjuangan I Gusti Ketut Jelantik”. Jakarta: Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan Departemen Sosial Republik Indonesia.
17 Rekayasa itu tampak jelas apabila dibaca “Peswara hal oeroesan perkara-perkara di dalam Landschap Karangasem, jang ditetapkan oleh I Goesti Gde Djlantik serta dimoefakati oleh semoea Poenggawa di Karangasem”, dalam Adatrechtbundels, XXXVII Balien en Lombok (s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1934), hal. 438—441.
12
oleh W.F.J. Kroon menjalankan roda pemerintahan di Karangasem sebagai Kontrolir yang kemudian menciutkan jupunggawaan. Apabila sebelumnya kepunggawaan berjumlah 20 distrik, diciutkan menjadi 16 distrik pada tahun 1913. Setahun kemudian, jumlah distrik diciutkan lagi menjadi 12 distrik, terdiri dari distrik Karangasem, Selat, Bugbug, Rendang, Culik, Bebandem, Kubu, Manggis, Muncan, Abang, Seraya, dan Sidemen.
Sementara itu pada tanggal 14 September 1908, I Gusti Ketut Jelantik dan I Gusti Gde Putu diasingkan ke Jembrana dengan naik Kapal Koningen Regentes di bawah komando Captain Carpentier Alting. Ikut mengantar rombongan yang diasingkan tersebut Asisten Residen Schwartz dan I Gusti Gde Jelantik. Pada pukul 15.00, tanggal 15 September 1908 rombongan tiba di Jembrana. Keesokan harinya, I Gusti Gde Jelantik beserta pengiringnya kembali berlayar menuju pulang ke Karangasem18.
Meskipun pemindahan kekuasaan dari Raja I Gusti Gde Jelantik kepada I Gusti Bagus Oka menuai persoalan, namun pada kenyataannya lambat laun dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dan tokoh-tokoh berpengaruh. Dinamika pemerintahan Karangasem berjalan terus pasca dilantiknya I Gusti Bagus Jelantik sebagai kepala pemerintahan di Karangasem.
Melalui pengangkatan I Gusti Bagus Jelantik itu, pada dasarnya pihak Pemerintah Hindia Belanda berkeinginan untuk menerapkan sistem pemerintahan langsung (rechtstreeksch bestuur) di seluruh Bali, khususnya di Karangasem. Keputusan Gubernur Hindia Belanda tertanggal 16 Desember 1921 No. 27 Stbl No. 756 tahun 1921 yang diberlakukan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1922, menghapuskan Gouvernements Lanschap Karangasem, memperlihatkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda berniat mengubah status Pemerintahan Karangasem menjadi daerah otonomi, langsung di bawah kendali Pemerintahan Hindia Belanda. Terbentuknya Karangasem Raad beranggotakan 33 orang yang diketuai oleh Regent I Gusti Agung Bagus Djelantik segera mengubah status Pemerintahan Karangasem yang langsung di bawah Kendali Pemerintah Hindia Belanda. Apalagi kemudian sekretaris Karangasem Raad dijabat oleh seorang Controleur Karangasem dari pihak Belanda.
Sementara itu, Regent Ida Anak Agung Bagus Djelantik tetap menginginkan Karangasem tetap sebagai daerah otonom dan menyampaikan keberatan melalui surat kepada Residen Bali-Lombok saat itu. Surat itupun kemudian ditanggapi melalui surat tetanggal 8 Pebuari 1921 (bdk. Putra Agung, 2001: 84)19. Persoalan Karangasem Raad itu juga menuai keresahan di kalangan orang-orang Belanda yang bertugas di pemerintahan. Oleh karena keputusan itu merupakan keputusan Volksraad (Dewan Rakyat), maka mereka mau tidak mau menerapkan kepitusan itu. Pada saat itu, Ida Anak Agung Bagus Jelantik tetap menggunakan gelar Stadehouder. Fenomena ini jelas merupakan bentuk pembangkangan. Apalagi kemudian, controleur yang bertugas di Karangasem menurut struktur Pemerintahan Hindia Belanda seharusnya menjadi ketua Karangasem Raad. Kenyataanya, controleur bertugas sebagai sekretaris saja20. Kebijakan ini juga berdampak pada pengurangan jumlah pejabat punggawa dari 14 orang menjadi 8 orang
18 “Karang Asem” dalam De Indische Gids, Jaargang XXX, 1908, hal. 1663.
19 Lihat arsip Puri Agung Karangasem: “Surat Residen Bali dan Lombok (Damste) kepada I Goesti Agoeng Bagoes Djlantik, Wakil Sri Gebernemen di Karangasem di Karangasem. Singaradja, 8 Februari 1921, No. 24/Geheim.
20 Periksa Damste, H.T. 1923. “Balische Bestuurs Problem“ dalam “Indische Genototschap. hal. 111—142. s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. ; Beets, K. Th. 1924. “Karangasemraad “ dalam “Koloniaal Tijdschrift, XIII, hlm. 188—193; Haga. 1924. “Balische Bestuurs Problemen en Karangasemraad” dalam “Koloniaal Tijdschrift, XIII, hal. 297—304.
karena wilayah Karangasem dibagi ke dalam 8 wilayah, yaitu: Rendang, Selat, Sidemen, Bebandem, Manggis, Karangasem, Abang, dan Kubu21.
Dinamika pemerintahan di Karangasem pasca intervensi Pemerintah Hindia Belanda terus terjadi. Barangkali Pemerintah Hindia Belanda yang mulai merasa lemah karena rongrongan tentara Jepang dan akibat krisis perang dunia II, maka diterapkanlah politik “indirect rule“. Sistem tersebut memanfaatkan struktur pemerintahan yang ada seefektif mungkin untuk mempertahan kedudukannya menghegemoni daerah koloni. Pada satu sisi, dengan terbentuknya Karangasem Raad dan dihapuskannya Gouvernements Lanschap Karangasem, keuangan pemerintah Karangasem tertekan. Celah ini dimanfaatkan oleh I Gusti Bagus Jelantik untuk mengajukan permohonan kepada Gubernemen adag Kerajaan Karangasem diijinkan membentuk pemerintahan sendiri (selfbestuur) (Putra Agung, 2001: 187). Keadaan ini, memperlihatkan semakin hari pemerintahan Karangasem di bawah kendali I Gusti Bagus Jelantik semakin kuat meskipun mengalami kesulitan keuangan. Keberanian mengusulkan sesuatu di luar “keinginan” Pemerintah Hindia Belanda mengindikasikan bargaining posisition (posisi tawar) pemerintahan Karangasem emakin kuat.
Kenyataanya, tidak lama setelah itu, berdasarkan staatblaad No. 529 berupa Keputusan Gubernur Djendral Hindia Belanda No. 1, tertanggal 30 Juni 1938, maka terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 I Gusti Bagus Jelantik diangkat menjadi pimpinan zelfbestuur Karangasem. Bersamaan dengan terbentuknya Zelfbestuur Karangasem, terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 terbentuk pulalah zelfbestuur-zelfbestuur lain di seluruh Bali, yaitu zelfbestuur Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan, Jembrana, dan Buleleng (Ibid).
Setelah terbentuknya zelfbestuur (swapraja) di seluruh Bali, atas inisiatif Residen L.J.J. Caron, pada tahun 1929 gelar raja sebagai zelfbestuurder disesuaikan dengan linggih (titel adat) Bali. Raja Klungkung menggunakan gelar “Dewa Agung”; Buleleng, Jembrana, Gianyar, dan Bangli menggunakan gelar “Anak Agung”; Badung dan Tabanan menggunakan gelar “Cokorda”; dan Karangasem menggunakan gelar “Anak Agung Agung” (ibid)22. Semua negara zelfbestuur tersebut kemudian masing-masing membentuk apa yang disebut paruman negara, yaitu sebuah majelis perwakilan yang terdiri dari para punggawa, seorang anggota Raad Kerta (pengadilan), beberapa orang sedahan, dan seorang dari kalangan swasta yang ditunjuk oleh zelfbestuurder (raja) atas persetujuan residen. Di samping itu—demi kepentingan bersama—dibentuk pula paruman agung, yaitu sebuah badan perwakilan yang mewakili setiap zelfbestuur yang ada di Bali. Anggota paruman agung terdiri dari masing-masing dua (2) orang yang dikirim oleh zelbestuurder. Dewan perwakilan tersebut memiliki seorang sekretaris dan ketuanya ialah residen yang berkedudukan di Singaraja23.
Dinamika sistem pemerintahan di Bali, khususnya di Karangasem kemudian juga terjadi pasca masuknya Jepang masuk ke Bali pada tahun 1942. Namun tampaknya menganut paham “indirect rule” seperti dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa lalu sesuai teori A.A. Gde Putra Agung (2001) dalam bukunya “Peralihan Sistem Birokrasi Dari Tradisional ke Kolonial”. Pada saat itu “paruman agung“diubah menjadi Sutyo Renmei. Selanjutnya seperti diketahui bersama, pada tahun 1946 setelah Jepang menyerah, Bali menjadi bagian dari
21 Periksa Hoekstra, H.J. 1937. Nota van toelichtingen betreffende het in te stellen zelfbesturend landschap Karangasem. Typoscript met tekeningen en kaarten. Leiden: KITLV.
22 Periksa juga Kaaden, W.F. van der. “Geschiedenis van de Bestuur Voering Over Bali en Lombok van 1898—1938” dalam “Tropical Netherland Tijdschrieft, XIe Jaargang Mei 1938—April 1939, hal. 269; P.1941. “Sedikit tentang Zelfbestuur di Bali”, dalam Majalah Djatajoe, No. 1 Th. 6. hal. 29—31.
23 Periksa Kaaden, W.F., van der. ““Geschiedenis van de Bestuur Voering Over Bali en Lombok van 1898—1938” dalam “Tropical Netherland Tijdschrieft, XIe Jaargang Mei 1938—April 1939, hal. 269—271.
Pemerintah Negara Indonesia Timur dan swapraja di Bali diubah menjadi Dewan Raja-Raja yang berkedudukan di Denpasar dan diketuai oleh seorang Raja.
Selanjutnya, pada bulan Oktober 1950, Swapraja Karangasem berevolusi berbentuk Dewan Pemerintahan Karangasem yang diketuai oleh ketua Dewan Pemerintahan Harian. Dewan tersebut dipimpin oleh Kepala Swapraja (Raja) serta dibantu oleh para anggota Majelis Pemerintah Harian. Pada tahun 1951, istilah Anggota Majelis Pemerintah Harian diganti menjadi Anggota Dewan Pemerintah Karangasem. Berdasarkan UU No. 69 tahun 1958 terhitung mulai tanggal 1 Desember 1958, daerah-daerah swapraja diubah menjadi Daerah Tingkat II Karangasem (www.depdagri.go.id).
Kepala Pemerintahan yang menjabat sebagai Kepala Daerah dari masa ke masa setelah Kabupaten Karangasem terbentuk sebagai berikut.
1. Anak Agung Gde Jelantik (1951—1960);
2. Gusti Lanang Rai (1960—1967);
3. Letkol Polisi Anak Agung Gde Karang (1967—1979);
4. Letkol Pol I Gusti Nyoman Yudana (1979—1989);
5. Kolonel Pol. I Ketut Mertha, Sm.Ik. S.sos (1989—1999);
6. Drs. I Gede Sumantara Adi Prenatha dan Drs. I Gusti Putu Widjera (1999—2005);
7. I Wayan Geredeg, S.H. dan Drs. I Gusti Lanang Rai, M. Si. (2005—2010);
8. I Wayan Geredeg, S.H. dan I Nengah Sukerena, S.H. (2010—2015).
Demikian sekilas dinamika pemerintahan Kabupaten Karangasem dari masa ke masa menurut sejarahnya. Sudah tentu rekonstruksi ini ada yang sama dan ada yang berbeda dengan uraian ilmuwan maupun praktisi sejarah sebelumnya.
4.2 Dari Kota Karangasem Ke Deklarasi Kota Amlapura
Seperti diuraikan terdahulu, sejak didirikan pada tahun 1611, imperium Kerajaan Karangasem tidak berakhir meskipun telah ditaklukkan oleh tentara Pemerintah Hindia Belanda. Ini berarti dalam beberapa abad Kerajaan Karangasem dikendalikan oleh dinasti Arya Batan Jeruk.
Cikal-bakal Kota Amlapura berkaitan langsung dengan terbentuknya Kerajaan Karangasem di bawah dinasti Arya Batan Jeruk (Ida I Dewa Karang Amla sebelumnya berkedudukan di Desa Selagumi atau Desa Bale Punduk). Oleh karena itu, Sejarah Kota Amlapura berkaitan dengan sejarah Kota Karangasem pada masa lalu.
Seperti diuraikan sebelumnya, Kota Karangasem mulai ditata sebagai Ibu Kota Kerajaan Karangasem sejak hijrahnya Ida I Dewa Agung Amla bersama “keluarga baru”. Di kota yang baru ini, dibangun dua tempat kediaman. Pertama Puri Batuaya dan Puri Amlarajya. Di Puri Amlarajya yang belakangan disebut Puri Kelodan inilah kemudian Ida Anglurah Nyoman Karangasem melakukan upacara abiseka menurut Lalintihan Babad Karangasem. Setelah direkonstruksi, waktu abiseka itu bersamaan dengan upacara ngenteg linggih Marajan Agung Puri Karangasem, yaitu pada Buda Wage Merakih Tahun Saka 1533 atau tepatnya pada hari Rabu, 22 Juni 1611.
Puri Kelodan yang dahulunya juga disebut sebagai “Puri Amlaraja” itu, merupakan keraton tertua di Kota Karangasem (Ketut Agung, 1991; Putra Agung, 2001: 103). Di keraton itu pula dinasti Arya Batan Jeruk membangun imperium kekuasaannya dan eksis sebagai kerajaan yang disegani di Bali.
Pembangunan Kota Karangasem selanjutnya mengalami perkembangan yang pesat. Struktur puri dilengkapi dari waktu ke waktu sehingga terbentuklah sebuah kota sesuai konsep
15
yang dikembangkan oleh raja. Lingkungan kota sesuai paham tata ruang tradisional Bali disebut kuta negara. Berikut ini disajikan kuta nagara Kerajaan Karangasem yang berhasil dibangun oleh imperium Kerajaan Karangasem di bawah dinasti Arya Batan Jeruk.
Tampaknya denah yang direkonstruksi oleh Putra Agung (2001) masih belum mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Lingkungan puri Karangasem yang berkaitan dengan dinasti Arya Batan Jeruk sebagai penguasa imperium Karangasem sebenarnya terdiri dari:
1. Lingkungan Puri, yaitu
a. Puri Kelodan
b. Puri Gede;
c. Puri Kanginan;
d. Puri Kaleran.
2. Lingkungan Jero
a. Jero Pekudan;
b. Jero Kawan;
c. Jero Taman; dan
d. Jero Kaler Kauh.
3. Lingkungan Geria (Catur Brahmana)
a. Griya Pendemu;
b. Griya Pidada, Griya Punia, Griya Sindu, dan Griya Cau;
c. Griya Tegeh;
d. Griya Karang Sidemen.
4. Lingkungan Banjar-Banjar
5. Lingkungan Islam (seperti tersebut di atas)
Secara konseptual, Kuta Negara Karangasem sebenarnya mengikuti konsep asta dala, yaitu pusat-pusat pemerintahan ada dalam delapan lingkaran kelopak daun padma. Secara tradisional, dengan demikian sejak awal Kuta Negara Karangasem telah dirancang sebagai ibu kota pemerintahan. Sesuai dengan kenyataannya, maka dari waktu ke waktu Kota Karangasem berkembang terus.
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, di mana Kerajaan Karangasem menjadi daerah bawahan, maka Kuta Negara Karangasem sendiri berusaha dikembangkan seiring kebutuhan akan inftastruktur. Meskipun raja Karangasem (stadehouder) I Gusti Gde Jelantik (dan juga penggantinya: I Gusti Bagus Jelantik) yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda mengetahui perkembangan kota-kota di Eropa melalui penuturan orang Belanda, pada dasarnya beliau tetap berpegang pada konsep arsitektur planologi tradisional Bali (bdk. Putra Agung, 2001: 188)24.
Perkembangan Kota Karangasem selanjutnya pada masa pemerintahan Kolonial Belanda terjadi pada tahun 1909. Di Kota Karangasem dibangun sebuah jembatan yang melintas di Tukad Jangga dan beberapa buah gedung, yaitu:
1) Kantor Landscap;
2) Kantor Pos;
3) Rumah Kontrolir;
4) Asrama Tentara;
5) Rumah Dokter;
6) Rumah Sakit;
7) Saluran Air Minum;
8) Gardu Listrik;
9) Bangunan Pasar;
10) Gedung Sekolah; dan
11) Beberapa Bendungan Air25.
Bandingkan dengan Putra Agung, Anak Agung Gde. 2001. “Peralihan Sistem Birokrasi Dari Tradisional Ke Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Di dalam buku ini, disebutkan bahwa I Gusti Gde Jelantik yakin bahwa peradaban barat (dalam hal tata kota) akan membawa kemajuan di Kerajaan Karangasem. Keyakinan ini ditanamkan pula kepada penggantinya I Gusti Bagus Jelantik.
25 Putra Agung, 2001. Mengutip data ini dari de Wit, Augusta. 1914. “Goesti Djilantik” dalam Natuuren Menchenin Indie. Amsterdam: Maatschappij voor Goedkoope Lektuur. Hal. 175—176.
Menurut catatan, jalan-jalan yang menghubungkan Kota Karangasem dengan beberapa tempatpun kemudian dibangun dengan dukungan Pemerintah Hindia Belanda. Jalan yang menghubungkan Kota Karangasem dengan Kota Singaraja melalui kepunggawaan Abang, Culik, Kubu, Tyanyar, Tejakula, Kubutambahan dibangun pada tahun yang sama (1909). Demikian pula jalan yang menghubungkan Kota Karangasem dengan Klungkung melalui:
1) Jalur Bugbug, Manggis, Ulakan, Kusamba, Klungkung; dan
2) Jalur Bebandem, Sibetan, Duda, Sidemen, Talibeng, Klungkung.
Sebuah kota, tentu saja memiliki batas-batas wilayah tertentu sehingga mencerminkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Wilayah Kota Karangasem berdasarkan perspektif tradisional mengalami perubahan akibat pembangunan yang dilakukan setelah adanya intervensi Pemerintah Hindia Belanda secara langsung mengkooptasi Kerajaan Karangasem.
Proyek-proyek pembangunan yang dilakukan tidak lagi berorientasi kepada planologi tradisional seperti dikemukakan terdahulu. Namun, pembangunan berbagai infrastruktur dilakukan berdasarkan kebutuhan yang tidak saja memperhatikan kebutuhan akan proyeksi planologii tradisional, tetapi sudah dialihkan kepada pembangunan berbagai fasilitas sesuai kebutuhan ekonomi. Dengan demikian, tampaknya planologi tradisional yang dirancang terdahulu dikembangkan lagi dengan planologi yang lebih modern.
Kota Karangasem yang berkembang sebagai kota modern, lambat laun telah mengubah wilayah geografisnya. Bangunan-bangunan baru yang dibangun sesuai dengan kebutuhan pada waktu itu difokuskan dilakukan pada bagian selatan di luar Kota Karangasem sebelumnya. Bangunan-bangunan tersebut seolah terlepas dari tatanan wilayah Kota Karangasem pada waktu itu.
Melihat perkembangang yang terjadi itu, maka pada tahun 1925 ada rencana untuk menentukan batas-batas wilayah Kota Karangasem sehinggam tampak sebagai satu kesatuan yang utuh. Panitia penentuan batas-batas wilayah Kota Karangasem kemudian dibentuk, terdiri dari K. Th. Beets (Controleur Karangasem), R. Soekarso (Kepala Pekerjaan Umum atau opzichter) dari Denpasar, Ida Nyoman Dangin (Sedahan Agung), I Gusti Wayan Oka (Punggawa), dan Mantri Polisi R. Tedjosoebroto. Setelah bekkerja beberapa lama, kemudian panitia itu berhasil menetapkan batas wilayah Kota Karangasem yang direkonstruksi sebagai berikut.
1. Sebelah Utara: mulai dari Tukad Pati terus ke Timur sampai di Bedugul; Dari Bedugul ini kemudian ke Timur mengikuti selokan Sampuhan di Jalan Anyar; Selanjutnya ke timur sampai di Tukad Nyuling;
2. Sebelah Timur: mulai dari Songan (di Tukad Nyuling) terus ke selatan sampai di Panyampuhan (pertemuan antara Tukad Nyuling dengan Tukad Jangga);
3. Sebelah Selatan: mulai dari Panyampuhan (lihat butir 2) terus ke barat sepanjang Tukad Jangga sampai di selatan Desa Bukit; Dari sana kemudian lurus ke barat sampai Tukad Pati;
4. Sebelah Barat: Tukad Pati26.
Berikut ini disajikan peta situasi Karangasem pada masa lalu.
26 Uraian ini bertumpu pada hasil analisis yang dilakukan oleh A.A. Gde Putra Agung (2001) dalam bukunya: “Peralihan Sistem Birokrasi Dari Tradisional Ke Kolonial”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kota Karangasem yang berkembang sedemikian pesat dan berhasil dikembangkan sesuai dengan peta di atas bertahan secara fisik seperti itu sampai awal tahun 1963. Keindahan Kota Karangasem kemudian luluh lantak akibat terjadinya erupsi Gunung Agung. Sebagian besar infrastruktur jalan yang telah susah payah dibangun sebelum musnah dalam sekejap. Bangunan-bangunan yang diadakan sesuai kebutuhan seperti diuraikan sebelumnya sebagian besar musnah dilanda luapan lava pijar Gunung Agung. Sebagian lainnya dirrubuhkan oleh gempa dahsyat yang melanda wilayah Kerajaan Karangasem.
Keadaan Kota Karangasem yang luluh lantak tersebut belum kunjung bisa diperbaiki sampai awal tahun 70-an. Mungkin tersendatnya pembangunan Kota Karangasem berkaitan dengan peralihan kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto tidak lama setelah Gunung Agung Meletus. Peristiwa besar G 30 S PKI juga menjadi penyebab krisis berkepanjangan di Indonesia yang berdampak juga di Bali.
Pada tahun 1967, Letkol Polisi Anak Agung Gde Karang dilantik sebagai Bupati Karangasem. Masa pemerintahan Bupati Karangasem yang merupakan putra daerah ini cukup signifikan mengubah wajah Kota Karangasem. Tidak saja berhasil membangun bangunan fisik Kompleks perkantoran yang diwarisi hingga sekarang (yang dikenal sebagai Kantor Bupati Karangasem) tetapi juga mengubah nama Kota Karangasem menjadi Kota Amlapura.
19
Apabila sekarang ini orang dengan berbagai argumentasinya menginterpretasikan dari mana nama Kota Amlapura itu diambil, maka ada baiknya diingat proses terjadinya perubahan nama tersebut. Pada era tahun 1970-an seolah terjadi tren bahwa setiap Kabupaten Daerah Tingkat II harus memiliki ibu kota yang namanya berbeda dengan nama daerahnya. Semua Kabupaten di Bali pun mencari atau membuat nama kotanya. Berbagai kajian dan seminar dilakukan untuk membuat nama kotanya. Termasuk menetapkan wilayah kota pusat pemerintahannya. Kabupaten Buleleng menetapkan nama nama ibukota kotanya Singaraja, Kabupaten Klungkung ibu kotanya Smarapura, Kabupaten Badung ibu kotanya Denpasar, Kabupaten Jembrana ibu kotanya Negara. Kabupaten lainnya, seperti Kabupaten Bangli, Tabanan, dan Gianyar sampai sekarang belum menentukan nama ibu kotanya dan masih menyebut ibu kotanya sama dengan nama kabupatennya.
Pada awal masa pemerintahan Bupati Anak Agung Gde Karang di Kabupaten Karangasem secara intensif dilakukan pertemuan-pertemuan informal di Griya Pidada Karangasem untuk tujuan:
1. Menentukan Lokasi Pembangunan pusat pemerintahan (Kantor Bupati); dan
2. Menentukan nama ibu kota Kabupaten Karangasem.
Griya Pidada digunakan sebagai tempat untuk menentukan dua hal itu disebabkan karena Ketua DPRD Karangasem Ida Wayan Pidada tiggal di sana dan rencana lokasi Kantor Bupati sebagian tanahnya milik Ida Padanda Istri Mayun. Pertemuan itu, dihadiri oleh sulinggih (Ida Padanda), tokoh-tokoh puri, dan tokoh masyarakat lainnya. Pertemuan dilakukan beberapa kali bertempat di Bale Lantang Griya Pidada. Pembicaraan berlangsunng hangat penuh kekeluargaan dan selalu diakhiri dengan magibung (makan bersama).
Setelah beberapa kali pertemuan, dua bulan sebelum tanggal 17 Agustus 1970 akhirnya diputuskan untuk menentukan nama ibu kota Kabupaten Karangasem sekaligus menentukan lokasi pusat Kota Kabupaten Karangasem. Keputusan yanng dihasilkan pada pertemuan itu menyangkut dua hal, yaitu:
1. Lokasi “Kota Baru” diputuskan di Subak Sudi, di tempat itu akan dibangun kompleks perkantoran Bupati, Gedung DPRD Kabupaten Karangasem, Kantor Pengadilan, Kejaksaan, Lapangan Chandra Bhuana, dan lain-lain. Lokasi gedung itu antara lain menggunakan tanah milik keluarga Griya Pidada dan beberapa orang lainnya; Pada butir keputusan ini yang menarik adalah penentuan titik nol ditetapkan tetap di perempatan yang menyilang antara Puri Kelodan, Puri Kawan, Lapangan Chandra Bhuana, dan Puri Gede. Kota Baru hanya merupakan daerah baru pengganti kompleks perkantoran yang hanyut ditelan lahar letusan Gunung Agung27.
2. Nama Ibu Kota Karangasem diputuskan memakai nama Amlapura, mengacu pada nama Puri Kelodan sebelumnya, yaitu Puri Amlaraja. Serta atas pertimbangan bahwa di dalam kolofon naskah lontar Negarakretagama atau Desa Warnana yang terdapat di Griya Pidada Karangasem. Pada kolofon naskah Negarakretagama disebutkan bahwa lontar tersebut selesai ditulis di Amlanegantun (wus puput sinurat ring Amlanagantun). Selain itu ada pula pertimbangan bawa Babad Dalem menyebutkan
27 Kota Baru, harus dibangun pada saat itu karena sebagian besar komleks perkantoran yang dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda telah musnah ditelan banjir lahar letusan Gunung Agung pada tahun 1963. Sejak saat itu, daerah aliran lahar letusan Gunung Agung diitetapkan sebagai Daerah Bencana melalui Perda Kabupaten Karangasem. Selain usulan untuk membangun Kota Baru Kabupaten Karangase diusulkan di Subak Sudi, ada pula yang mengusulkan agar ibu kota Karangasem dipindahkan ke daerah sekitar Ulakan karana dianggap lebih aman dari ancaman bencana letusan Gunung Agung bila terjadi kelak kemudian hari.adanya kerajaan di sebelah timur pulau Bali yang merupakan salah satu wilayahnya diperintah oleh raja Ida I Dewa Karang Amla.
Walaupun pemerintahan daerah Kabupaten Karangasem belum menerima keputusan resmi dari Departemen Dalam Negeri mengenai nama ibu kota Karangasem, tetapi nama Kota Amlapura telah dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1970 di Lapangan Candra Bhuwana. Di mana pada saat itu, untuk pertamakalinya diselenggarakan festival besar-besaran di Kota Karangasem. Berbagai hasil bumi dan industri kerajinan ditampilkan pada festival tersebut. Siang—malam ditampilkan berbagai atraksi kesenian. Pada siang hari kesenian gebug-ende dan lain-lain ditampilkan, malam harinya ditampilkan pertunjukan kesenian jangger, calon arang, drama gong, wayang, tong edan, manusia ditanam hidup-hidup, dan lain-lain.
Nama kota Amlapura akhirnya diresmikan sebagai Ibu Kota Kabupaten Karangasem melalui Keputusan Mendagri Nomor 284, tanggal 28 Nopember 1970. Sehingga secara administratif Kota Amlapura mulai resmi digunakan sebagai nama Ibu Kota Kabupaten Karangasem. Pada tanggal 17 Agustus 1971, bersamaan dengan Upacara 17 Agustus 1971, dilagsungkan pula Upacara Pembukaan Selubung Monument Lambang Daerah, oleh Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) XV Bali, sebagai Panji kebanggaan Kabupaten Karangasem di Lapangan Tanah Aron. Selain itu, pada saat itu Kabupaten Karangasem menerima penghargaan Sertifikat dan Tropy Patung dan hadiah berupa uang Rp. 200,00 sebagai Kabupaten Terbersih di Bali (www.depdagri.go.id.)
5. Penutup
Karangasem, baik pada masa pemerintahan tradisional berbentuk kerajaan, pada masa hegemoni kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda, maupun setelah berbentuk wilayah Kabupaten dari Pripinsi Bali senantiasa mengalami dinamika perkembangan dan kemajuan. Berdasarkan kajian komprehensif yang dilakukan sebelumnya, khususnya mengenai sejarah Kota Amlapura dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Wilayah Karangasem sudah dikenal sejak tahun 1150;
2) Kelahiran Kota Amlapura Berkaitan dengan berdirinya dinasti Arya Batan Jeruk yang mendirikan Kuta Negara Karangasem.
3) Kuta Negara Karangasem didirikan pada tanggal 22 Juni 1611;
4) Kota Amlapura dideklarasikan sebagai nama Ibu Kota Kabupaten Karangasem pada tanggal 17 Agustus 1971;
5) Secara legalitas formal Kota Amlapura ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada tanggal tanggal 28 Nopember 1970 melalui Keputusan Meteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 284.
Dengan demikian, untuk menetapkan Hari Ulang Tahun Kota Amlapura ada tiga acuan yang dapat digunakan, yaitu tanggal 22 Juni, tanggal 17 Agustus, dan tanggal 28 Nopember. Mengenai penetapan Hari Ulang Tahun Kota Karangasem ini bisa dipilih salah satunya karena ketiganya memiliki kebenarannya sendiri sebagai acuan yang akurat. Namun, mengenai usia Kota Amlapura, mau tidak mau harus diacu titik awal pembangunan Kuta Negara Karangasem di masa lalu sehingga berdirinya Kota Amlapura sebagai suatu kota yang memiliki planologi tersendiri terjadi pada tahun 1611. Oleh karena itu, pada tahun 2013, Kota Amlapura telah berusia 402 tahun.
6. Saran
Karya tulis ini, berhasil direkonstruksi melalui studi pustaka (library research) yang panjang. Namun, hasil rekonstruksi ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Oleh karena itu, melalui karya tulis kecil ini disarankan agar:
1) Pemerintah Kabupaten Karangasem memfasilitasi pertemuan ilmiah untuk mengeksplanasi sejarah Kota Amlapura dalam sebuah lokakarya;
2) Ahli sejarah, ilmu filologi, ilmu sastra, dan ilmu arkeologi memberi masukan sesuai bidang ilmunya agar akurasi penelitian ini dapat lebih akurat;
3) Masyarakat umum, khususnya masyarakat Kabupaten Karangasem memberi sumbangan pemikiran guna terwujudnya hasil penelitian ini dengan lebih sempurna sehingga Kota Amlapura sebagai salah satu ikon Kabupaten karangasem lebih dikenal secara luas.
Demikian hasil penelitian ini berhasil direkonstruksi untuk dipersembahkan kepada pemerintah dan masyarakat Kabupaten Karangasem.
NAMA RAJA-RAJA
YANG MEMERINTAH DI KARANGASEM
1. I Gusti Oka (Pangeran Oka) 1556 (Belum Dewasa)—1615
(sumber lain menyebut sekitar tahun
1558—1615)
2. I Gusti Nyoman Karang 1611—1650 Karangasem I
(sumber lain menyebut sekitar tahun
1615—1650)
3. I Gusti Anglurah Ketut Karang 1650—1680 Karangasem II
4. I Gusti Anglurah Wayan Karangasem 1680—1705 Karangasem III
I Gusti Anglurah Nengah Karangasem Idem Karangasem III
2021-01-27 11:13:04
Area Blankspot
Selengkapnya...2018-04-05 10:40:30
Jalan Amblas
Selengkapnya...2018-03-08 11:09:08
Beasiswa
Selengkapnya...
Total Pengunjung Hari Ini : 831
Total Pengunjung : 2058183
Pengunjung Online: 10
Pengunjung Tahun 2019: 107326
Pengunjung Tahun 2020: 144390
Pengunjung Tahun 2021: 404435
Pengunjung Tahun 2022: 375592
Pengunjung Tahun 2023: 248675