Dibaca : 13979 Pengunjung
Sejarah peradaban Bali memang berutang besar kepada Mpu Kuturan. Dialah yang menjadi arsitek penting konsep desa pakraman, kahyangan tiga serta bangunan suci berbentuk meru yang kini mewarnai wajah Bali. Terbukti kini, pemikiran visioner-cemerlang sang empu menjadikan Bali sebagai pulau mungil yang bernuansa sosial-religius kental.
Menyebut Mpu Kuturan, kita juga tak bisa mengabaikan keberadaan Pura Silayukti di Teluk Padang yang kini dikenal dengan nama Padangbai. Di kawasan bukit yang oleh orang-orang Padangbai dikenal dengan nama Gunung Luhur itulah pernah menjadi pasraman Mpu Kuturan. Boleh jadi, perenungan mendalam sembari menyambut kehangatan sang mahacahaya di pagi hari di tempat inilah yang membuahkan konsep visioner Mpu Kuturan dalam menata Bali.
IB Gde Agastia dalam buku Wija Kasawur menyebut silayukti berarti ‘tingkah laku yang benar dan baik’. Dan memang, di Gunung Luhur itulah Mpu Kuturan melakoni perilaku hidup mendasar yang mulia dan benar.
Dalam Dwijendra Tattwa disebut-sebut Raja Gelgel, Dhalem Waturenggong memerintahkan Ki Gusti Penyarikan untuk mengantarkan Danghyang Nirartha beristirahat di pasraman Mpu Kuturan di Silayukti. Sejarah kemudian mencatat, selain sebagai purohita kerajaan Gelgel, Danghyang Nirartha juga menjadi arsitek bangunan suci padmasana sebagai tempat pemujaan keesaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Konsep ini sejatinya sudah termaktub dalam konsep trimurthi rekaan Mpu Kuturan.
Pura Silayukti hingga tahun 1931 masih berupa satu bangunan suci bebaturan. Baru setelah pemerintahan kolonial Belanda, pelinggih untuk memuja Mpu Kuturan diganti denganmeru tumpang tiga yang masih terjaga sampai sekarang. Selain itu juga dibangun sejumlah pelinggih pesimpangan seperti pasimpangan Batara Lempuyang Luhur (Iswara), pasimpangan Batara Pura Dasar Bhuwana Gelgel, pesimpangan Batara di Besakih (Putranjaya/ Siwa-Mahadewa), penyawangan ke Pura Lempuyang Madya, pesimpangan Batara di Andakasa serta gedong sthana Batara Mahadewa. Bangunan suci lainnya, manjangan sakaluang sebagai peninggalan Mpu Kuturan, gedong rong dua (kamimitan Empu Pascika), padmasana, serta gedong betel (Batara Manik Angkeran) serta meru tumpang dua (Ratu Pasek). Belakangan, Pura Silayukti juga mengalami pembenahan, terutama pada bagian tembok penyengker serta candi bentar yang tampak lebih megah dari sebelumnya.
Di dalam kawasan Bukit Silayukti juga terdapat Pura Tanjung Sari serta Pura Telaga Mas. Pura Tanjung Sari terletak di ujung selatan kaki bukit, agak menjorok ke laut, sekitar 100 meter dari Pura Silayukti. Pura ini diyakini sebagai tempat pemujaan Mpu Baradah.
Memang, Mpu Baradah pernah datang ke Bali sebagai utusan Raja Airlangga untuk bertemu Mpu Kuturan. Raja Airlangga meminta agar salah seorang putranya bisa diangkat menjadi raja di Bali. Permintaan ini ditolak oleh Mpu Kuturan dengan alasan Bali mesti tetap diperintah dari dinasti Warmadewa yakni Anak Wungsu yang juga masih merupakan adik bungu Airlangga. Kedatangan Mpu Baradah ke Bali dikenang dengan piodalan di Pura Tanjung Sari saban Buda Kliwon Wuku Matal.
Sementara Pura Telaga Mas berada di sisi utara, bersebelahan dengan Pura Silayukti. Pura ini diyakini sebagai tempat permandian Mpu Kuturan. Di sini hanya terdapat bangunan gedong dan bebaturan. Pengempon pura ini kini Desa Adat Padangbai yang memiliki tiga banjar dengan sekitar 700-an kepala keluarga
Sejarah peradaban Bali memang berutang besar kepada Mpu Kuturan. Dialah yang menjadi arsitek penting konsep desa pakraman, kahyangan tiga serta bangunan suci berbentuk meru yang kini mewarnai wajah Bali. Terbukti kini, pemikiran visioner-cemerlang sang empu menjadikan Bali sebagai pulau mungil yang bernuansa sosial-religius kental.
Menyebut Mpu Kuturan, kita juga tak bisa mengabaikan keberadaan Pura Silayukti di Teluk Padang yang kini dikenal dengan nama Padangbai. Di kawasan bukit yang oleh orang-orang Padangbai dikenal dengan nama Gunung Luhur itulah pernah menjadi pasraman Mpu Kuturan. Boleh jadi, perenungan mendalam sembari menyambut kehangatan sang mahacahaya di pagi hari di tempat inilah yang membuahkan konsep visioner Mpu Kuturan dalam menata Bali.
IB Gde Agastia dalam buku Wija Kasawur menyebut silayukti berarti ‘tingkah laku yang benar dan baik’. Dan memang, di Gunung Luhur itulah Mpu Kuturan melakoni perilaku hidup mendasar yang mulia dan benar.
Dalam Dwijendra Tattwa disebut-sebut Raja Gelgel, Dhalem Waturenggong memerintahkan Ki Gusti Penyarikan untuk mengantarkan Danghyang Nirartha beristirahat di pasraman Mpu Kuturan di Silayukti. Sejarah kemudian mencatat, selain sebagai purohita kerajaan Gelgel, Danghyang Nirartha juga menjadi arsitek bangunan suci padmasana sebagai tempat pemujaan keesaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Konsep ini sejatinya sudah termaktub dalam konsep trimurthi rekaan Mpu Kuturan.
Pura Silayukti hingga tahun 1931 masih berupa satu bangunan suci bebaturan. Baru setelah pemerintahan kolonial Belanda, pelinggih untuk memuja Mpu Kuturan diganti denganmeru tumpang tiga yang masih terjaga sampai sekarang. Selain itu juga dibangun sejumlah pelinggih pesimpangan seperti pasimpangan Batara Lempuyang Luhur (Iswara), pasimpangan Batara Pura Dasar Bhuwana Gelgel, pesimpangan Batara di Besakih (Putranjaya/ Siwa-Mahadewa), penyawangan ke Pura Lempuyang Madya, pesimpangan Batara di Andakasa serta gedong sthana Batara Mahadewa. Bangunan suci lainnya, manjangan sakaluang sebagai peninggalan Mpu Kuturan, gedong rong dua (kamimitan Empu Pascika), padmasana, serta gedong betel (Batara Manik Angkeran) serta meru tumpang dua (Ratu Pasek). Belakangan, Pura Silayukti juga mengalami pembenahan, terutama pada bagian tembok penyengker serta candi bentar yang tampak lebih megah dari sebelumnya.
Di dalam kawasan Bukit Silayukti juga terdapat Pura Tanjung Sari serta Pura Telaga Mas. Pura Tanjung Sari terletak di ujung selatan kaki bukit, agak menjorok ke laut, sekitar 100 meter dari Pura Silayukti. Pura ini diyakini sebagai tempat pemujaan Mpu Baradah.
Memang, Mpu Baradah pernah datang ke Bali sebagai utusan Raja Airlangga untuk bertemu Mpu Kuturan. Raja Airlangga meminta agar salah seorang putranya bisa diangkat menjadi raja di Bali. Permintaan ini ditolak oleh Mpu Kuturan dengan alasan Bali mesti tetap diperintah dari dinasti Warmadewa yakni Anak Wungsu yang juga masih merupakan adik bungu Airlangga. Kedatangan Mpu Baradah ke Bali dikenang dengan piodalan di Pura Tanjung Sari saban Buda Kliwon Wuku Matal.
Sementara Pura Telaga Mas berada di sisi utara, bersebelahan dengan Pura Silayukti. Pura ini diyakini sebagai tempat permandian Mpu Kuturan. Di sini hanya terdapat bangunan gedong dan bebaturan. Pengempon pura ini kini Desa Adat Padangbai yang memiliki tiga banjar dengan sekitar 700-an kepala keluarga.
Dibaca : 13979 Pengunjung
2021-01-27 11:13:04
Area Blankspot
Selengkapnya...2018-04-05 10:40:30
Jalan Amblas
Selengkapnya...2018-03-08 11:09:08
Beasiswa
Selengkapnya...